A. Pendahuluan
Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan saling berhubungan, dihubungkan dan menghubungkan antara individu-individu maupun antara kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota penerima karena ia patut untu menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang telah disepakati itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa, tepa selira sebagai bukti kuatnya ikatan itu. Paa diri setiap anggota terkandugn makna adanya saling ikut merasakan dan saling bertanggungjawab paa setiap sikap tindak baik megnarah kepada yang hang positif maupun negative. Sakit anggota masyarakat satu akan dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping adanya suatu harmonisasi, disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya. Bukan harmonisasi ditemukan, tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan organisasi tetapi disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat para anggotanya pada kondisi tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan dalam berbagai hal. Tetapi juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering kita temui pertentangan-pertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang tetapi kiranya hujan setengah hari, karena sebagus-bagus nya gading akan mengalami keretakan. Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan Negara mengalami kegoyahan-kegoyahan yang terkadang keaaan tidak terkendali dan dari situlah terjadinya perpecahan.. Sudah tentu sebabnya, misalnya adanya pertentangan karena perbedaan keinginan.
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok agama, kelompok ideology tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas.
Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbabang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian bear sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok ? tampaknya kepribadian dan inteligensi, juga factor lingkungan cukup berkaitan engan munculnya prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, mengapa ? karena orang-orang macam ini berikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seseorang yagn mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminatof tanpa latar belakang prasangka. Demikian jgua sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
B. Penyebab Konflik Sosial
Konflik yang dalam bahasa Indonesia acap disebut sebagai pertentangan atau perselisihan dapat terjadi pada hubungan yang bersifat individual yang terjadi sebagai akibat perilaku atau perebutan kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan. Kepentingan itu bisa berkenaan dengan harta, kedudukan atau jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Konflik sosial berarti pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras, jenis kelamin, kelompok, status ekonomi, status sosial, bahasa, agama, dan keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik dalam masyarakat homogin maupun dalam masyarakat majemuk konflik sosial merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan menjadi unsure dinamis yang melahirkan berbagai kreatifitas masyarakat. Konflik sosial mustahil dihilangkan sama sekali. Yang harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum. Yang berarti melalui jalan damai.
Konflik dapat bersifat tetap dan dapat pula bersifat cadangan. Konflik yang bersifat laten adalah pertentangan yang tertutup dan belum mencuat kepermukaan. Misalnya, kesenjangan dalam pengupahan antara pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki dalam suatu perusahaan yang berlangsung secara diam-diam tertutup oleh dominasi budaya patrimonial pada suatu saat meledak dan menjadi konflik terbuka. Contoh lain misalnya dominasi posisi badan pemerintahan oleh etnis atau ras tertentu dapat mengundang kecemburuan dan kekecewaan etnis lain yang merupakan suatu konflik yang bersifat laten. Suatu konflik laten yang tidak segera diatasi pada ketikanya akan meletus menjadi perselisihan terbuka.
Konflik sosial dapat terjadi karena berbagai prasangka dan sebab. Seperti, prasangka-prasangka ras, suku, agama, keyakinan politik atau ideologi, dan lain sebagainya, dan sebab adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah oleh kebijakan negara. Misalnya kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengistimewakan golongan Eropa, dan Tionghoa telah mempertajam prasangka rasial antara golongan Melayu ( pribumi ) dengan golongan Tionghoa.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
1. Elimination; yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami keluar, kami membentuk kelompok kami sendiri,
2. Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya,
3. Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.,
4. Minority Consent; artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakan untuk melakukan kegiatan bersama,
5. Compromise; artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah,
6. Integration; artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
Referensi :
~ journal.mercubuana.ac.id/data/ISD-9.doc
0 comments:
Post a Comment